Strategi 2 in 1 Sukseskan Panadol Hijau
Tahun ini menjadi momentum luar biasa bagi Panadol Hijau yang dikemas sebagai obat batuk dan flu (cold & flu). Karena, produk yang diluncurkan tahun 2001 itu berhasil menembus posisi teratas atau nomor satu di kategori obat batuk dan flu dalam ajang ICSA 2009 yang diselenggarakan Majalah SWA bersama Frontier. Obat yang diproduksi PT Sterling Products Indonesia (SPI) tersebut meraih total satisfaction score sebesar 3,990 dengan brand share 6,1%. Bandingkan dengan angka yang diraih obat ini pada dua dan tiga tahun sebelumnya. Pada 2007 dan 2008, obat ini bertengger pada peringkat ke-6 dan ke-7. Ini berarti, dalam dua tahun Panadol Hijau berhasil melangkahi 5-6 merek di atasnya.
Pencapaian level tertinggi ini dimungkinkan karena Panadol Hijau mengalami peningkatan hampir merata di semua indikator penilaian, yaitu quality satisfaction score (4,089), value satisfaction score (3,913), perceived best score (4,072) dan expectation score (3,869). Meskipun, jika dicermati, peningkatan skor ini tidak terlalu besar atau berkisar nol koma sekian, alias di bawah satu digit.
Untuk diketahui, Panadol bukanlah merek baru. Produk ini sudah hadir di Indonesia pada 1970-an. Awalnya, ia dikenal sebagai obat analgesik yang ditujukan untuk meringankan nyeri di kepala dan demam. Kategori ini sudah sangat mature di pasar farmasi. Pemainnya pun teramat banyak. Elsia Chandrawati, Head of Marketing SPI, memperkirakan jumlah pemain di kategori ini lebih dari 140 merek. Ia mengatakan, semua bermain di pasar yang sama: analgesik. Tak pelak, kanibalisme pun tidak dapat dihindari. Mereka saling memakan. “Karena pasarnya sudah sangat matang, tidak bisa ekspansi lagi. Paling-paling ya mencuri pasar merek lain,†ujar lulusan Ilmu Bisnis IKIP Jakarta itu.
Dari sini, SPI mencoba mengkaji lagi kebutuhan masyarakat di produk ini. SPI mencermati, “Orang flu pada tahap akhirnya akan mengalami batuk. Akhirnya, ia harus mengonsumsi dua jenis obat,†ujar kelahiran Jakarta, 18 Mei 1963, itu. Nah, peluang inilah yang kemudian dijadikan landasan SPI meluncurkan Panadol Cold & Flu atau Panadol Hijau. Tak hanya itu, obat ini juga memiliki manfaat lain, yaitu tidak menyebabkan ngantuk. “Masak tiap flu harus tidak masuk kerja. Kan tidak produktif,†kata Elsia. Ternyata langkah ini cukup berhasil. Panadol Hijau malah semakin diterima pasar yang membuatnya memenangi ajang ini. Pencapaian ini sangat membanggakan SPI, mengingat usia Panadol Hijau yang baru 9 tahun. Bandingkan dengan Panadol Biru yang beredar sejak 1970 dan Panadol Merah (Panadol Extra) untuk sakit kepala (kategori berat) yang dirilis sejak tahun 2000.
Alasan Elsia tak berbeda jauh dari pernyataan Simon Jonatan, CEO Brand Maker (konsultan pemasaran). Simon melihat, langkah ini dilakukan SPI untuk memperlebar target pasar karena pertumbuhan pasar analgesik sudah melambat. Lalu, SPI memutuskan berperang dengan obat sakit flu. Menurutnya, saat ini pasar obat flu dikuasai Sanaflu, Mixagrip, Procold dan Decolgen. Dengan bahan dasar parasetamol, Panadol merasa memiliki kemampuan membuat obat flu dan batuk.
“Daripada capek, Panadol bikin formulasi yang dulunya hanya parasetamol dan kafein, ditambah dengan ephedrine dan pseudoephedrine,†kata Simon. Ironisnya, Panadol yang beringsut ke pasar flu dan batuk justru diikuti musuh besarnya, Bodrex dan Paramex. “Jadi, mereka memakan pasar obat flu,†ujarnya. Pasar sakit kepala, flu dan batuk berdempetan. Ia melihat obat flu tidak bisa masuk ke sakit kepala, yang akhirnya tergerus oleh masuknya raksasa obat sakit kepala ini. “Bila ingin menjadi lebih besar, Panadol harus lebih fokus dan semakin menyasar segmen menengah-bawah,†ujarnya menyarankan.
Selain kejelian melihat peluang dengan menggabungkan dua kebutuhan dalam satu produk, keberhasilan Panadol Hijau ini juga didukung kekuatan umbrella brand-nya, yaitu Panadol. Seperti diketahui, merek Panadol sudah cukup tangguh sebagai obat yang efektif untuk sakit kepala, nyeri dan demam. “Malah kebanyakan konsumen mengonsumsi Panadol Biru kalau terserang gejala flu. Jadi, kami tidak repot,†Anie Racmayani O. Zetga, Manajer Merek Panadol, menerangkan. Alhasil, ketika SPI masuk ke kategori baru, jalannya lebih mudah karena memang antara flu, demam, nyeri kepala dan batuk sangat berdekatan. Demam dan sakit kepala merupakan bagian dari flu. “Begitu Panadol Cold & Flu masuk, orang langsung accept,†Anie mengungkapkan.
Tantangannya adalah bagaimana menggiring orang yang terkena flu untuk mengonsumsi Panadol hijau. Untuk itu, Panadol membuat iklan sendiri-sendiri. Panadol Merah dengan versi angkot, sementara Panadol Hjau menggunakan Afgan. “Kami juga membangun trust kepada konsumen dengan campaign yang mendidik,†kata Anie.
Upaya Anie tampaknya cukup berhasil. Menurut Cecilia Dianasari R., karyawan jasa paspor dan perjalanan yang tercatat sebagai pengguna Panadol Hijau, obat ini cukup efektif dan praktis. “Karena, saya sering sakit kepala karena gejala flu. Jadi, daripada makan banyak obat, mending satu saja,†ungkapnya. Panadol Cold & Flu cukup cocok baginya, terutama karena obat tersebut tidak menyebabkan ngantuk. “Ini bukan promosi lho,†katanya. Ditanya masalah harga, Cecil mengaku tidak keberatan. Malah, ia merasa harga tersebut sudah pas.
Yang pasti, “Kami pionir di obat ini,†ujar Elsia menegaskan. Alhasil, pertumbuhannya sangat mengesankan. “Nilainya selalu di atas pertumbuhan pasar,†kata eksekutif SPI yang dikenal sebagai spesialis peluncuran dan pengembangan produk itu. Sayang, ia enggan buka-bukaan soal pertumbuhan penjualan ini. Diungkapkannya, pasar obat flu dan analgesik tumbuh antara 1% dan 5%. Yang pasti, dengan pencapaian ini, kontribusi Panadol Hijau terhadap total penjualan Panadol semakin mendekati saudara tuanya, Panadol Merah dan Panadol Biru. Komposisinya: Panadol Biru 40%, Panadol Merah 35% dan Panadol Hijau 25%.
Perjalanan Panadol Hijau menjadi pemimpin pasar untuk kategori batuk dan flu tidaklah ringan. Pesaing kuat Panadol di analgesik, yaitu Bodrex dan Paramex, terus mengikuti jejaknya dalam tiga tahun terakhir. “Pasar yang tadinya agak tenang sekarang riuh lagi,†ujar Elsia. Meski demikian, ia mengaku Panadol Hijau tetap berada di puncak persaingan kategori obat flu, terutama di 12 kota besar di Indonesia. “Pangsa pasarnya lebih dari 10%,†tuturnya. Meski memimpin di 12 kota besar, bukan berarti Panadol Hijau bisa menguasai secara nasional. “Untuk nasional, Panadol Hijau hanya 5%,†kata mantan pengajar Jakarta College itu.
Untuk ukuran pasar yang berdesakan, angka itu merupakan prestasi tersendiri. Bahkan, ia yakin pangsa pasar obat flu dan batuk tidak bisa melebihi 20%. Toh, Elsia melihat masih banyak peluang untuk memperbesar pangsa pasarnya ke depan. Pasalnya, tingkat loyalitas konsumen obat flu sangat rendah. Berbeda dari analgesik yang cenderung loyal, konsumen obat flu sangat tinggi switching-nya. “Bisa saja awal tahun dia makan obat X, lalu saat flu di tengah tahun pindah ke Panadol,†kata Elsia.
Lalu, bagaimana dengan distribusi? Diakui Elsia, saat ini Panadol — tak terkecuali Panadol Hijau — lebih kuat di pasar modern dan apotek (kanal modern). Bahkan, ia berani menjamin di pasar itu Panadol termasuk pemain utama. “Nomor satunya bisa mencapai 48% di modern market dan apotek,†ungkapnya. Namun, itu belum seberapa karena pasar yang lebih besar justru ada di pasar tradisional yang penguasaannya mencapai 70% dibandingkan pasar modern dan apotek. Masalahnya, bagi SPI sendiri tak mudah masuk ke pasar tradisional. Karena, untuk masuk ke pasar tradisional, SPI harus masuk ke warung-warung yang kini jumlahnya diperkirakan Elsia mencapai 1,8 juta warung. “Butuh waktu. Kalau bisa menggarap warung dengan multiproduk, mungkin akan lebih mudah.â€Â
Untuk kepuasan pelanggannya, Panadol selalu melakukan berbagai upaya yang serius. Pertama, menjaga kualitas produk dengan memenuhi standar internasional. “Karena, sebagai brand internasional, Panadol memiliki standar keamanan obat yang disesuaikan dengan standar internasional,†kata Anie. Yang kedua, ketersediaan produk di pasar yang kuat. “Ini di modern channel. Selanjutnya, kami masih memperbaiki ketersediaan di pasar tradisional,†katanya lagi. Ketiga, konsisten memosisikan diri. Ia menjelaskan, SPI menjaga citra dengan benar melalui iklan televisi dan kampanye ke konsumen. “Menjual obat sangat banyak regulasi. Panadol tidak pernah melakukan klaim khasiat. Apa yang kami katakan, itulah kualitas produk,†ujarnya. Ia meyakini klaim yang berlebihan justru akan mematikan Panadol. Efeknya, bila di Indonesia jelek, merek lain di luar negeri (90 negara) juga akan buruk. Berikutnya, menyediakan berbagai varian mulai dari Panadol anak hingga untuk orang dewasa seperti Panadol Cold & Flu.
Selain itu, Elsia menambahkan, tiap dua bulan sekali pihaknya melakukan survei kepuasan pelanggan di beberapa kota besar dengan mengambil 1.400 responden. Tujuannya, untuk mengetahui keinginan konsumen. Dari sini SPI mampu menciptakan semua inovasi dari Panadol. “Adanya Panadol dari dewasa sampai anak-anak juga didapat dari survei tersebut,†ujarnya. SPI kerap melibatkan konsultan seperti Nielsen, IMX dan Euro Monitor dalam survei ini. Hasilnya, kini Panadol mampu menjual ratusan tablet ke pasaran tiap tahun.
TABEL
Upaya Panadol Cold & Flu untuk Memuaskan Pelanggan
No.
1.Menjaga kualitas produk dengan memenuhi standar internasional. Karena, Panadol merupakan merek internasional yang memiliki standar keamanan obat yang sesuai dengan standar internasional.
2.Menjaga ketersediaan produk di pasar, terutama di kanal modern. Dan, terus memperbaiki ketersediaam produk di pasar tradisional.
3.Konsisten memosisikan diri dengan cara menjaga citra dengan benar melalui iklan televisi dan kampanye ke konsumen.
4.Tiap dua bulan sekali melakukan survei kepuasan pelanggan di beberapa kota besar untuk mengetahui keinginan konsumen.
5.Menyediakan berbagai varian, mulai dari Panadol untuk anak-anak hingga Panadol untuk dewasa
Tren Bisnis Penerbangan Domestik
Berarti, pertumbuhan pasar penerbangan domestik di Indonesia sejak tahun 2000 adalah 18%, 27%, 38%, dan mencapai puncaknya 44% pada 2003, kemudian menurun ke 7% tahun berikutnya. Angka-angka pertumbuhan pasar penerbangan domestik ini terungkap dalam riset Marketing Research Indonesia (MRI) bertajuk Konsumen dan Pasar Jasa Penerbangan Dalam Negeri. Dengan mempertimbangkan pengembangan di seluruh wilayah Indonesia dan persaingan harga yang terus terjadi, MRI memperkirakan dalam lima tahun mendatang rata-rata pertumbuhan arus penumpang domestik masih bisa mencapai 15%.
Arus penumpang di atas dihitung dari 204 bandara yang tersebar dan beroperasi di seluruh Indonesia. Dari semua bandara itu, Soekarno-Hatta adalah yang terbesar dan memiliki pangsa 31%. Pertumbuhan arus penumpang di bandara ini juga luar biasa, terakhir mencapai 52% pada 2003, tapi kemudian stagnan (naik1%). Bandara tersibuk berikutnya adalah Juanda (Surabaya) dan Ngurah Rai (Denpasar).
Jika di tahun 1999 Indonesia baru mempunyai lima perusahaan penerbangan, saat ini terdapat 25 perusahaan penerbangan dengan jadwal reguler. Bahkan pemerintah sudah memberikan izin kepada 37 perusahaan penerbangan. Perusahaan penerbangan yang tergabung dalam INACA (Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Nasional) berjumlah 17, dan jumlah penumpang domestik yang mereka layani sebanyak 26 juta yang dilayani oleh 14 perusahaan. Garuda masih menjadi pemimpin pasar di industri penerbangan dalam negeri dengan pangsa 24%. Namun, pemain baru Lion Air menjadi penantang yang luar biasa (23%), disusul Merpati (11%), dan Mandala (11%). Berbagai maskapai penerbangan lain memiliki sekitar sepertiga pasar.
Menurut hasil survei MRI, di antara 529 penumpang dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar pada Maret-Juni 2005 menunjukkan Garuda masih merupakan merek yang paling diingat (top of mind) sebesar 38%, disusul Lion Air (22%), Mandala (9%), Merpati (7%) dan Batavia Air (7%). Dari survei itu diperoleh pangsa merek (brand share) Garuda sebesar 28% dan disusul Lion Air (23%). Membandingkan Garuda dan Lion sungguh menarik. Garuda dipilih konsumen lebih karena alasan pelayanan, kenyamanan, rasa aman, merek dan ketersediaan rute. Sebaliknya, Lion Air dipilih oleh konsumennya lebih karena faktor harga, ketepatan waktu dan akses memperoleh tiket.
Sebagai merek yang paling lama berkiprah di Indonesia, Garuda memang memiliki asosiasi merek yang paling kuat. Lion Air belum bisa mengimbangi Garuda dalam hal ini, kecuali dalam aspek atribut harga tiket yang murah. Namun sebagai pendatang yang relatif baru, Lion Air patut diacungi jempol. Merek ini mengalahkan pemain lama lain seperti Mandala, Merpati dan Bouraq, serta pemain baru seperti Batavia, Adam dan Citilink.
Di benak penumpang, maskapai penerbangan terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pemain lama seperti Garuda, Merpati, dan Mandala; serta pemain baru seperti Lion Air, Jatayu, Adam Air, dan Batavia Air. Pemain lama memiliki citra dapat dipercaya, lebih prestisius, dan merek yang direkomendasi. Sementara pemain baru terutama dicirikan oleh harganya yang murah. Pemain baru, khususnya Batavia Air, juga dipersepsikan banyak beriklan dan berpromosi.
Melihat kecenderungan pertumbuhan arus penumpang penerbangan dalam negeri yang mulai menurun, industri penerbangan perlu memberikan rangsangan jika ingin pasar ini terus berkembang. Peluang pertumbuhan ini ada mengingat makin berkembangnya ekonomi daerah yang dipicu oleh otonomi daerah, dan adanya perubahan pada konsumen yang semakin sadar waktu. Pemerintah harus hati-hati dengan penetapan tarif dasar, karena faktor harga sangat menentukan pertumbuhan industri.
Mengingat tren pasar yang melemah, masing-masing pemain jelas harus semakin tajam dalam menetapkan segmen pasar dan positioning-nya. Beberapa kebutuhan konsumen utama yang teridentifikasi melalui penelitian ini harus digarap betul oleh para pemain, yaitu faktor keselamatan, harga, kondisi pesawat prima, ketepatan waktu, jadwal, kemudahan dan pelayanan membeli tiket, serta awak kabin yang ramah.
Nexian: Cerdik Membaca Tren Pasar
Bisnis handset, umpamanya, turut berkembang dahsyat mengikuti perkembangan industri telekomunikasi. Bahkan sampai sekarang, biarpun sudah dikuasai merek-merek ternama dunia seperti Nokia, Sony Ericsson, Samsung dan Motorola, pasar masih membuka diri terhadap pemain-pemain baru, yang lokal sekalipun.
Salah satu pendatang baru yang sedang menikmati manisnya madu bisnis handset adalah PT Metrotech Jaya Komunika (MJK). Hadir sedikit terlambat dibanding merek-merek lain, perusahaan yang mengusung merek Nexian ini sekarang muncul sebagai kuda hitam di bisnis handset nasional. Bahkan, merek ini sempat membuat geger pasar handset nasional lewat varian NX-G900. Telepon seluler (ponsel) yang dijuluki NexianBerry ini begitu diminati konsumen, sehingga untuk mendapatkannya, harus rela antre.
Direktur Pengembangan Bisnis MJK Herbert Tobing mengatakan, perusahaannya mulai terjun ke bisnis ponsel pada 2006. Kala itu, pihaknya sangat sadar bahwa mereka sudah terlambat masuk ke bisnis ini. “Pasar ponsel GSM sudah sangat sesak,†ujarnya. Maka, MJK pun mengalihkan fokus pasarnya ke ponsel CDMA yang saat itu mulai tumbuh di Indonesia.
Kala itu, Herbert melihat pasar ponsel CDMA secara kuantitas masih rendah. Namun, beberapa operator seperti Esia, TelkomFlexi dan Mobile-8 menawarkan tarif yang lebih murah daripada GSM. Pada saat yang sama, ketersediaan ponsel CDMA masih sangat terbatas. Kalaupun ada, harganya relatif mahal.
Peluang inilah yang dimanfaatkan Nexian dengan menawarkan ponsel murah bekerja sama dengan Esia. Nexian meluncurkan bundling Nexian NX-350 dan NX-370 dengan Esia. “Handset-nya kami luncurkan dengan harga Rp 300 ribu-an,†kata Herbert. Nexian juga mendapatkan proyek Flexi Home dari PT Telkom. Tanggapan pasarnya ternyata sangat baik. Buktinya, Nexian tercatat dalam Museum Rekor Indonesia sebagai ponsel rakitan lokal yang mencapai produksi 100 ribu unit dalam waktu 6 bulan. Di tahun pertamanya ini, Nexian berhasil menjual 200 ribu unit produknya. Ini juga menjadi sukses Nexian dalam pengembangan pabrik perakitan ponsel dalam negeri miliknya. “Itu adalah pencapaian awal kami,†ungkapnya.
Memasuki tahun 2007, MJK terus melanjutkan program bundling yang dilakukannya dengan pihak operator. Kerja sama pun diperluas dengan menggandeng semua operator CDMA yang ada pada saat itu.
Perkembangan pasar CDMA melahirkan tren pasar baru, di mana banyak konsumen yang memiliki dua ponsel, yaitu GSM dan CDMA. MJK melihat ini sebagai peluang. Nexian pun melebarkan sayap dengan meluncurkan program bundling dengan dua operator sekaligus, yaitu Telkomsel dan Telkom Flexi, dengan menawarkan ponsel dualmode Nexian NX-200D yang bisa mengaktifkan nomor GSM dan CDMA pada saat bersamaan. “Kami pikir ini sebuah ide brilian,†ujar Herbert. Ponsel yang dilego dengan harga Rp 2,5 juta ini pun mendapat sambutan pasar yang luar biasa. Menurut survei JFK Report, Nexian menduduki peringkat pertama untuk pasar ponsel kategori dualmode. Sekitar 600 ribu unit ponsel Nexian terjual di tahun ini.
Tahun 2008, seiring dengan kian agresifnya operator CDMA dalam mengembangkan pasar, Nexian pun ikut merasakan dampaknya. Hasilnya, di tahun itu MJK berhasil menjual lebih dari 2 juta unit produknya.
Setelah cukup berhasil di pasar ponsel CDMA dan dualmode, pertengahan 2009 Nexian mengambil langkah berani untuk masuk ke pasar ponsel GSM. Keberanian ini didukung hasil pengamatan terhadap tren pasar yang tengah marak saat itu. Herbert mengatakan, sejak akhir 2008 Nexian melihat adanya tren baru yang luar biasa di tengah masyarakat: bergabung dengan jejaring sosial Facebook dan sangat meminati BlackBerry. Menjawab tantangan ini, Nexian mulai melakukan riset dan pengembangan ponsel baru yang akan diluncurkan di tahun 2009.
Ponsel jenis ini dinamakan ponsel QWERTY yang bisa melayani berbagai aplikasi BlackBerry seperti chat aplication, dan tentu saja Facebook. “Kami mencoba terjun ke segmen GSM. Seperti yang kita ketahui, 80% dari sekitar 100 juta pengguna ponsel di Indonesia adalah pengguna ponsel GSM,†katanya.
Sama halnya dengan menggarap pasar CDMA, Nexian pun menggunakan pola bundling kala menggarap pasar GSM. Untuk tahap pertama, MJK menggandeng XL sebagai mitra kerja samanya untuk produk Nexian NX G900, ponsel QWERTY pertama yang dibanderol di bawah Rp 1 juta (Rp 999.000).
Karena desainnya yang sangat mirip BlackBerry, ponsel ini pun kemudian dijuluki NexianBerry. Ternyata, tanggapan masyarakat terhadap NexianBerry juga sangat baik. Permintaan yang tinggi terjadi di semua jalur distribusi, dealer, dan dari luar kota. Antrean panjang sering terlihat di tempat-tempat penjualan NexianBerry. Bahkan, harga di tingkat pedagang pernah naik menjadi Rp 1,5 juta. “Ini pertama kalinya harga ponsel merek lokal bukan turun, tetapi malah naik. Pencapaian ini mendorong kami menambah kapasitas dan jumlah produk yang didistribusikan,†ujar Herbert.
MJK pun akhirnya bekerja sama dengan dua operator besar lainnya untuk produk ini. Bundling Nexian NX G911 dengan Indosat diluncurkan pada Juli dan Nexian NX G922 dengan Telkomsel pada Agustus lalu. “Aplikasi yang tepat dengan harga yang terjangkau membuat NexianBerry sangat cocok dengan pasar Indonesia,†imbuhnya.
Kini, 500 ribu unit NexianBerry telah dilepas ke pasar untuk memenuhi permintaan yang sangat tinggi. Herbert menyebutkan, pihaknya menargetkan 2 juta unit NexianBerry akan terjual di tahun ini. Adapun untuk penjualan keseluruhan, Nexian menargetkan 4 juta unit. “Tahun lalu kami dapat 2 juta unit. Kenapa tahun ini tidak dibuat dobel?†ujarnya retoris. Meski demikian, dia menegaskan target ini harus dicapai dengan usaha yang keras.
Untuk mencapai target-target ini, sejak awal Nexian memang menempuh jalan promosi yang tidak biasa karena tidak menutup mata terhadap keterbatasan yang dimilikinya. Nexian lebih suka melakukan kerja sama dan membangun jaringan dengan pihak-pihak terkait. “Harus diakui, resource dan dukungan finansial Nexian belum besar. Kami masih berkembang,†kata Herbert. Karena itu, Nexian berkerja sama dengan hampir semua operator seluler. Juga, dengan beberapa bank. Nexian memanfaatkan kanal modern seperti gerai-gerai ritel di Indonesia. Tidak seperti perusahaan-perusahaan besar yang punya peluru iklan yang sangat banyak, Nexian punya peluru terbatas. “Satu peluru itu harus kena ke sasaran. Satu produk yang diluncurkan harus dipastikan menjadi hit di pasar,†ujarnya tandas.
Selain distribusi terbantu, pola jaringan ini akan meningkatkan brand awareness masyarakat terhadap Nexian. Herbert berharap keberadaan gerai Nexian di kanal modern dan kerja sama dengan bank-bank bisa memperkuat branding produknya. Karena itu, pihaknya tidak terlalu berharap akan menjual banyak produk dari gerai-gerainya itu, tetapi mengharapkan masyarakat akan mengenal Nexian. “Kebanyakan orang promosi dulu, baru berjualan. Kami mengombinasikannya. Malah kadang kami berjualan untuk promosi,†ungkapnya.
Nexian belum mengambil langkah untuk membangun pabrik sendiri di Tanah Air. Untuk sementara, mereka hanya merakit. Produksi Nexian masih dilakukan di Taiwan dan Cina. Adapun ponsel QWERTY sepenuhnya masih dibuat di kedua negara itu. “Kebetulan harga di Taiwan dan Cina itu bisa dibilang bersaing,†ujar Herbert. Sebab, sumber daya manusia di Indonesia dinilainya belum memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang cukup memadai untuk memproduksi langsung ponsel. Selain itu, Nexian belum melihat adanya nilai tambah yang didapat jika membangun pabrik di negeri ini karena minimnya kemudahan. “Berapa biaya produksi, ya itulah harga jual kami,†katanya.
BOKS
Nexian Belum Aman
Menurut Andi K. Utomo, konsultan Mark Trend, Nexian merupakan sebuah fenomena menarik di bisnis ponsel di Indonesia. Menurutnya, ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan Nexian saat ini. Pertama, Nexian sebagai follower menyadari produknya merupakan produk Cina yang memiliki persepsi kualitas relatif rendah di mata konsumen, sehingga berani bermain di harga dan volume. “Artinya, Nexian mengambil untung yang kecil, tetapi volume penjualan yang besar,†katanya.
Selain itu, Nexian juga mengambil langkah tepat, yaitu menggandeng operator-operator besar. Bundling dengan sejumlah operator ini disebut Andi sebagai milestone pembeda Nexian dari produk-produk Cina lain. Menurutnya, operator-operator ini ingin terus menjaring pelanggan dengan bundling handset dan layanannya. Sehingga, mereka bisa menjual produk dengan value yang lebih tinggi, tetapi harga yang lebih murah. “Nexian berhasil menggandeng para operator untuk bundling dan bersama-sama menjual ke konsumen. Itu juga sukses besar,†ujarnya tandas.
Andi menilai kelemahan Nexian terletak pada perceived quality (kualitas yang dipersepsi konsumen). Sebab, persepsi terhadap kualitas Nexian memang belum mampu bersaing dengan merek-merek besar. “Itu dilema yang paling utama,†katanya menegaskan. Namun, distribusi dan jaringan Nexian dengan para operator sudah kuat. Sehingga, masalah perceived quality itu bisa diatasi Nexian.
Ke depan, lanjut Andi, Nexian harus melakukan promosi yang menonjolkan kualitas, bukan semata-mata harga. Hal ini harus didukung dengan melahirkan fitur-fitur yang inovatif. Karena itu, Nexian pun mesti berani bermain di pasar ponsel premium agar tidak terus dipersepsi sebagai ponsel berkualitas murah. Dan yang tidak kalah penting, Nexian juga harus membuka toko-toko eksklusif dari segi distribusi. “Misalnya, ada Nexian Shop. Nexian harus berani,â€Â
Andi menambahkan, secara keseluruhan Nexian belum mencapai titik aman dalam bisnis seluler. Menurutnya, bisnis seluler sangat sulit mencapai titik aman sebab perkembangan teknologinya sangat cepat. Bahkan, level maturity product sebuah ponsel bisa hanya dua minggu.
Di Balik Sukses Jaringan Rudy
Kelompok salon ini terus berkembang dengan jaringan yang luas dan merek yang beragam. Apa kunci suksesnya?
Easy come, easy go. Itulah salah satu gambaran yang umum dipakai untuk melukiskan fenomena bisnis salon. Tak sulit membuka usaha salon dan tak sulit juga menutupnya suatu saat. Bisnis ini entry barrier-nya memang rendah, jumlah pemainnya pun berjibun. Karena usaha salon lebih cocok untuk usaha kelas rumahan, ada asumsi bisnis ini sulit dikembangkan menjadi usaha serius dengan skala yang lebih besar.
Betul begitu? Tampaknya tak selalu demikian. Setidaknya bila menengok kelompok usaha salon Rudy Hadisuwarno, yang dirintis dari gang sempit di Jl. K.H. Hasyim Ashari (dikenal dengan nama Jalan Kemakmuran). Tak salah bila kini disebutkan bahwa bisnis salon tergolong besar.
Salon Rudy sudah berkembang menjadi berpuluh-puluh gerai dengan merek dan pelanggan setia yang berbeda-beda. Ada Salon Rudy Hadisuwarno, Salon Rudy, Brown Salon By Rudi Hadisurwarno, Maxx, Nabila, dll. Gerainya tak hanya di Jakarta, tetapi sudah menyebar ke seluruh Indonesia, termasuk Papua. Malahan usahanya telah masuk ke produk ritel perawatan rambut, tak semata-mata jasa salon.
Saat ini di bawah grup usaha PT Rudy Hadisuwarno setidaknya terdapat tiga unit bisnis. Pertama, divisi salon: mengelola semua salon, baik yang dimiliki sendiri maupun yang dikembangkan dengan konsep waralaba. Kedua, divisi institusi pendidikan. Ketiga, divisi produk dan distribusi, antara lain memasarkan merek-merek produk perawatan rambut (sampo, kondisioner, produk pewarna, dll.)
Membesarnya salon Rudy yang dirintis pada 1968 (baru berbentuk PT pada 1972) sejatinya tak lepas dari pengelolaannya yang memang lain dari umumnya pengelolaan salon. Khususnya bila melihat kesungguhannya mengembangkan organisasi, termasuk SDM yang menjadi tulang punggung bisnisnya.
Oliver Hadisuwarno, CEO PT Rudy Hadisuwarno, menggambarkan bahwa sejak 2003 pihaknya serius menata usaha salon dan memperbaiki manajemennya. Ketika itu bisnis salon Rudy memang punya momentum perkembangan yang pesat sehingga kemudian dilakukan peralihan dari perusahaan keluarga ke profesional. “Sebelum 2002 bisnis masih dikelola generasi pertama. Tahun 2003 perekrutan tim profesional mulai gencar,” ujar Oliver yang bergabung dengan salon Rudy pada 2006. Sebagai informasi, dari keluarga Rudy, yang ikut mengelola grup usaha ini adalah Rudy sendiri, Gunawan (saudara kandung), Oliver (keponakan) dan adik Oliver.
Mengiringi profesionalisasi pengelolaan bisnis, model bisnisnya pun dirapikan, disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi. Dulu grup usaha ini hanya bermain di salon premium yang eksklusif dan mahal dengan nama Salon Rudy Hadisuwarno (latar desain salon ini mayoritas hitam). Namun, krisis moneter 1997 yang menyebabkan penurunan daya beli mendorong grup usaha ini berani mengambil segmen menengah. Itulah yang menjadi pemicu dikeluarkannya merek baru, Salon Rudy.
Awalnya, muncul kekhawatiran citra premium Salon Rudy Hadisuwarno akan turun ketika membuat merek baru yang menggarap pasar lebih bawah. Nyatanya, tidak. “Salon Rudy sekarang paling menjamur,” Oliver menunjuk fakta. Saat ini Salon Rudy Hadisuwarno yang eksklusif punya 10 cabang, sedangkan Salon Rudy berkembang menjadi 68 cabang. “Kami hanya punya 20% dari total cabang, sisanya milik franchisee,” imbuhnya. Salon Rudy tersebar ke berbagai kota di Indonesia, bahkan ada 7 cabang di Merauke, Papua Barat.
Pengembangan terus dilakukan. Tahun 2000, Rudy membuat terobosan dengan membuka salon yang menyasar mereka nan berjiwa muda dan funky. “Anak muda kan tidak mau masuk ke salon yang kesannya tua! Maka kami buat yang bergaya retro, funky, warna-
warni, servisnya pun berjiwa anak muda,” papar Oliver yang sempat bekerja 3,5 tahun di Citigroup. Maka, lahirlah Brown Salon by Rudy Hadisuwarno yang kini punya 17 cabang.
Selanjutnya, dua tahun lalu Rudy juga mengeluarkan merek salon khusus pria: Salon Maxx. Salon ini menyasar laki-laki stylish. Gerainya ada di beberapa wilayah seputar Jakarta seperti Serpong, Tangerang, Cinere (Depok), dan segera akan buka di Medan. Bahkan, pihaknya pun membuka salon khusus muslimah di Surabaya dengan nama Salon Nabila.
Dalam penataan manajemen, grup ini kemudian lebih banyak mengembangkan bisnis dengan pola waralaba ketimbang model kerja sama. Dulu, meski Salon Rudy Hadisuwarno merupakan pelopor waralaba salon di Indonesia dan memulai waralaba pada 1996, dalam operasionalnya lebih banyak dipakai konsep kerja sama (partnership) dengan pemilik modal atau properti. Kini pola itu tidak dipakai lagi. “Sekarang, dari seluruh outlet salon kami, kalau tidak 100% milik kami, kemungkinannya salon waralaba, yang operasionalnya semua di bawah PT Rudy Hadisuwarno,” papar Oliver.
Menurut pengamatan lulusan London School of Economic yang selama 6 tahun tinggal Inggris itu, grup salon Rudy berkembang karena Rudy memiliki perhatian yang sangat kuat terhadap pengembangan SDM di perusahaannya, selain karena kharisma Rudy yang disegani. “Pak Rudy selalu berpikir untuk beberapa tahun ke depan, 10 tahun ke depan,” ungkap Oliver. Tak mengherankan, di perusahannya sudah dibangun organsiasi, lengkap dengan jabatan-jabatan dan tanggung jawabnya, sebagaimana perusahaan modern umumnya.
Hanya saja, struktur organisasinya dibuat sangat ramping. Sama seperti perusahaan lain, perusahaan ini dipimpin oleh board of director. Di bawahnya ada sejumlah general manager yang mengelola unit-unit bisnis. Lalu, ada Departemen Pemasaran yang mengurusi komunikasi pemasaran, kehumasan, promo konsumer, desain, dan sebagainya. Lalu, ada Divisi Operasional yang mengelola salon, serta Divisi Institusi Pendidikan. Jadi, organisasinya sejak awal sudah disiapkan, tak seperti salon pada umumnya yang berkembang semata-mata karena faktor entrepreneurship. Rudy kini menjabat sebagai komisaris utama.
Bentuk kepedulian pada SDM antara lain tecermin dalam pengelolaannya. Di grup salon Rudy, pengelolaan SDM dipegang manajer HRD yang di dalamnya ada dua bagian: Rekrutmen dan Edukasi. Masing-masing ada chief-nya. “Kami tidak ingin HRD hanya sebatas personalia, tapi harus memikirkan pengembangan SDM. Maka, dipegang oleh dua orang berbeda,” Oliver menjelaskan kiatnya. Bagian Edukasi dibutuhkan guna mengembangkan para stylist supaya tidak ketinggalan teknik dan agar grup selalu menghasilkan orang terbaik. Adapun Bagian Rekrutmen memikirkan bagaimana mendapat orang bagus, mengurusi jenjang karier dan bagaimana mencetak orang.
Di grup salon Rudy, pengembangan SDM memang jadi tuntutan mengingat salon tumbuh pesat, baik salon milik sendiri maupun waralaba. “Para franchisee bisa minta kami supaya cari orang-orangnya, tapi ada juga yang mencari sendiri. Orang-orang yang mereka bawa tetap harus masuk ke kampus kami untuk standardisasi,” katanya. Karena itulah, Divisi Training Center di Salon Rudy Hadisuwarno sangat vital.
Sejauh ini manajemen menawarkan karier di grup melalui dua jalur. Oliver menyebutnya dengan people technique dan people managerial. Keduanya memiliki jenjang dan pelatihan yang berbeda. Soal rekrutmen, ada karyawan yang mendapat edukasi dari beasiswa, kemudian dikontrak bekerja dengan salon ini. Namun, ada juga yang mulai dari melamar kerja ke grup ini. Yang sudah siap secara teknis langsung masuk ke kelas pemantapan: bukan hanya pemantapan teknik, tetapi juga visi-misi perusahaan, layanan pelanggan dan loyalitas. Semua pekerjaan ini dikelola Divisi Training Center.
Di jalur people managerial pun karyawan harus masuk ke kelas pelatihan, tetapi dengan modul berbeda. Ilmu yang diberikan ke mereka antara lain administrasi salon, penanganan pelanggan, bagaimana menghadapi komplain, pengetahuan tentang produk dan manajemen keuangan. “Tiap hari ada orang yang datang dan dipilih untuk masuk dalam grup kami,” tutur Oliver. Mereka yang sudah bekerja di dalam grup ini pun bukan berarti pelatihannya berhenti. Paling tidak 6 bulan para manajer gerai salon harus kembali ke kelas untuk belajar tren baru. “Pelanggan makin pintar dan banyak tuntutannya,” kelahiran 5 Oktober 1981 itu memberi alasan.
Pelatihan untuk pengelola salon dilakukan lewat koordinasi dengan Divisi Operasional yang bertugas memantau kondisi salon dan problemnya. Di grup ini, tiap manajer gerai (store manager) wajib melaporkan kondisi salon ke manajer area — biasanya manajer area bertanggung jawab atas 10-15 gerai. Nah, edukasi yang dilakukan bagi kelompok manajer gerai ini dibagi dua: edukasi alam (orang yang dari nol kemampuannya) dan edukasi lanjutan. Tiap orang berbeda frekuensi pemantapannya. “Orang yang performanya lambat berarti frekuensi pemantapannya harus sering-sering,” kata Oliver. Para manajer juga selalu berkumpul tiap 6 bulan, dan setahun sekali ada National Sales Meeting.
Mursani Tarigan, Operational Head PT Rudy Hadisuwarno, mengatakan bahwa pengembangan SDM memang menjadi kepedulian grupnya. “Kami selalu memberi training-training terkait dengan bisnis, apalagi kami punya banyak franchisee. Kami ingin mereka happy,” ujar Mursani yang sudah tiga tahun bergabung. Pihaknya menjalankan pelatihan yang belum pernah diberikan agar SDM terus berkembang. Ditambahkannya, kelebihan grup ini adalah memiliki “kampus” yang berfungsi mencetak orang dan sebagai tempat pengembangan.
Yang pasti, termasuk dalam pengembangan SDM dan organisasi di grup salon Rudy, pengelola pun telah merancang jenjang karier bagi karyawannya, baik di bagian teknis maupun manajerial. Di jalur manajerial, mulai dari kasir di gerai, dia melapor ke manajer gerai. Dari kasir bisa menjadi manajer gerai. Kemudian, manajer gerai bisa naik menjadi manajer area jika kinerjanya bagus. Dari manajer area naik menjadi manajer operasi yang membawahkan beberapa area. “Setelah bisa menjadi generalis, ia akan dikembalikan sesuai dengan passion-nya ke mana, mau menjadi GM pemasaran atau GM operasi,” kata Oliver.
Contohnya, manajer gerai. Jika berprestasi, misalnya membangun tim dengan baik, meningkatkan omset dan menciptakan sesuatu yang belum ada di salon lain, dia bisa menjadi manajer area. Manajer gerai selama ini ada yang diambil dari internal, tetapi juga bisa direkrut dari luar. Kalau dari luar, bisa diambil dari berbagai disiplin apa pun yang kemudian diberi pelatihan. “Asal dia punya passion dalam hal pelayanan dan hospitality,” tambah Mursani yang juga memegang posisi Manajer Waralaba.
Untuk karier teknis, jenjang kariernya tersedia mulai dari bawah, yaitu therapist yang tugasnya melakukan perawatan rambut. Lalu, bisa naik menjadi stylist junior setelah mendapat beasiswa pendidikan dari dalam. Kemudian, berkembang menjadi stylist senior. “Stylist itu rata-rata bisa naik menjadi senior stylist setelah 2-3 tahun berkarier,” ujar Mursani. Jenjang berikutnya, dia bisa memilih, misalnya mengajar atau naik ke jenjang salon yang lebih mahal — jika sebelumnya berada di salon segmen bawahnya. “Stylist senior ini pun bisa naik menjadi tim artistik, menjadi bagian dari tim kreatif yang ikut pemotretan dengan Pak Rudy atau masuk menjadi tim yang sering naik panggung untuk memperkenalkan tren-tren baru.”
Untuk pengembangan SDM internal, pihak Rudy menggunakan lembaga yang berbeda dari institusi pendidikan eksternal. Yakni, Rudy Hadisuwarno Education Center. Sentra pendidikan ini ada di beberapa lokasi, antara lain di Cideng, Jakarta Barat — akan dipindahkan ke Sudirman Park, tempat kantor PT Rudy Hadisuwarno — dan di Yogyakarta. Rencananya, sentra pelatihan akan dibuat di beberapa tempat lain sesuai dengan area: Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Tengah.
Selain sentra pendidikan untuk internal, grup ini juga membangun Rudy Hadisuwarno School of Hairdressing, sekolah yang setara dengan diploma tata rambut. Sekarang total ada 12 sekolah di seluruh Indonesia. Lama pendidikan untuk mencapai diploma 9 bulan. Sekolah ini lebih mengarah ke komersial untuk orang luar, walaupun juga digunakan untuk pengembangan SDM internal.
Lebih dari itu, menjawab kebutuhan orang yang ingin memperdalam lagi ilmu tata rambut, khususnya bagi yang telah bekerja 3-5 tahun di salon, grup salon Rudy menyediakan institusi pendidikan Hair Academy. “Ini bagi yang ingin lebih advance, yang ingin menjadi seniman rambut. Pengajarnya para tim artistik Rudy Hadisuwarno Salon,” kata Oliver.
Lena Mulyana, karyawan grup salon Rudy, merasakan perusahaannya memang memberi peluang karier yang cukup luas bagi karyawan. “Office boy pun diberi kesempatan jadi stylist kalau mereka mau dan mampu,” tutur wanita yang bekerja di grup ini sejak 1990. Lena kini menjabat sebagai Manajer Gerai Brown Salon Cideng. Awalnya, ia bekerja di bagian purchasing, lalu ditempatkan di penggajian, berikutnya di bagian keuangan. “Saya lalu diterjunkan ke salon. Selain itu, saya juga ada di akademinya,” ujar perempuan pehobi tenis ini.
Menurut ibu seorang anak kelahiran 11 Juni 1970 ini, tiap orang punya kesempatan yang sama untuk berkarier dan mengembangkan diri. “Banyak lho stylist dan tim artistik yang dari bawah,” ujarnya. Setelah dua tahun menjadi therapist, mereka yang mengembangkan keahlian teknik rambut bisa menjadi stylist (asisten, junior, senior), kemudian berkembang hingga menjadi tim artistik. Lena sendiri merasa berpeluang menjadi manajer area jika bisa menorehkan prestasi yang baik.
Para pekerja di salon ini (bagian penataan dan perawatan rambut) biasanya pekerja kontrak, tetapi mereka bisa ditarik manajer area menjadi staf tetap Rudy Hadisuwarno Organization (RHO). Maklum, manajer area selalu meninjau kinerja salon. Dari tinjauan tersebut, mereka bisa mengambil keputusan mau ekspansi ke mana dan siapa saja orang yang bisa ditingkatkan dari nonstaf menjadi staf RHO.
Menurut Riri Satria, pengamat manajemen yang juga doktor lulusan Institut Pertanian Bogor, praktik manajemen SDM di grup salon Rudy sudah menunjukkan laiknya profesional company, yakni organisasi atau perusahaan yang penggeraknya adalah para profesional. Menurutnya, pada organisasi seperti salon Rudy, justru jenjang profesional teknik (bukan manajerial) yang jadi ujung tombak. Maka, kemampuan mereka menjadi hal utama untuk terus dikembangkan dalam people development yang berkelanjutan. Maksudnya, agar kemahiran dan pengetahuan teknik mereka terus berkembang.
Dalam hal ini, kemampuan retensi SDM sangat penting. Yaitu, “Menahan orang-orang terbaik agar tetap di perusahaan.” Caranya dengan menerapkan sistem ikatan kotrak kerja untuk menahan orang — walau Riri tidak menyarankan karena sifatnya memaksa dan merupakan cara kuno – atau dengan membuat suasana kerja menyenangkan.
Cara menahannya bukan hanya dengan memberikan gaji besar, tetapi juga memahami keinginan mereka. “Sebab, para profesional teknik ini yang men-drive perusahaan, sedangkan para manajerial fungsinya mendukung mereka,” kata Riri. Namun, inilah tantangan perusahaan profesional, menahan orang terbaiknya agar tetap bertahan. Budaya individu karyawan harus dijaga agar tidak terlalu jauh gap-nya dengan budaya perusahaan. Itu membuat orang merasa dimanusiakan. “Pekerjaan SDM harus strategis dan concern pada pengembangan dan retensi people yang tepat.”
Oliver berharap perusahaannya menjadi pengelola salon multimerek yang sukses bukan saja di kancah lokal, tetapi juga regional. Pihaknya ingin membuka cabang sebanyak-banyaknya agar bisa diakses di seluruh Indonesia. “Ini sesuai dengan tag line kami, We Beautify the Nation. Kami ingin mempercantik negara ini dengan penampilan, juga kemampuan yang baik,” katanya menandaskan. Kalau ini sukses, lantas siapa yang berani mengatakan bisnis salon itu “easy come easy go”?
Kunci Tumbuhnya Grup Salon Rudy
- Melakukan peralihan dari perusahaan keluarga ke profesional
- Meluncurkan multimerek salon untuk segmen pasar yang berbeda-beda
- Meniadakan konsep pengembangan usaha dengan kerja sama dan menggantinya dengan pola waralaba
- Menjadikan pengelolaan SDM sebagai perhatian utama
- Menyiapkan jenjang karier yang jelas bagi orang teknis dan manajerial
- Membangun sentra pendidikan yang serius bagi kebutuhan internal ataupun eksternal
Membuat Goldmart Berkilau Lagi
Sempat berjaya, kinerja Goldmart terus terjun bebas. CEO baru pun direkrut. Apa strateginya untuk menyelamatkan jaringan toko emas itu agar tidak
Bagi Anda yang hobi membeli perhiasan emas, Goldmart bukanlah nama asing. Jaringan toko emas ini bisa dijumpai di gerai-gerai Matahari Dept. Store. Bahkan, pada 1995 sampai awal 2000-an toko ini sempat berjaya, melenggang sendirian.
Konsep Goldmart memang memungkinkannya menjadi penguasa pasar. Sebagai pelopor toko emas modern di mal, Goldmart menawarkan value added. Banderol harganya yang dipatok fixed membuat konsumen tak perlu lagi tawar-menawar. Lalu, gerainya yang berada di mal membuat orang tak lagi harus berbecek-becek.
Kenyamanan berbelanja dan kepastian harga ini membuat pelanggan datang mengalir, sehingga menggemukkan pundi-pundi Goldmart. Jangan heran, di awal 2000-an, nafsu ekspansi pun menggoda. Jumlah gerai digeber hingga akhirnya mencapai 77. Puncaknya pada 2005-06. “Bahkan, kala itu sehari kami bisa buka tiga outlet,†kata Sjarkowi Hanafi, GM PT Goldmartindo, mengenang.
Saat itu Goldmart memang terbilang sangat agresif. Ekspansinya menguntit Matahari Dept. Store: di mana Matahari membuka gerai baru, di situlah Goldmart menjadi mitra penyewa stand.
Sayang, ketika asyik-asyiknya berekspansi, harga emas di pasaran dunia melonjak, di atas Rp 200 ribu/gram. Gara-gara itu, animo pembeli pun menyusut. Buntutnya, gerai ikut-ikutan sepi. “Memang ekspektasi kami terlalu tinggi saat itu,†tutur Sjarkowi sembari mencontohkan ekspansi Goldmart di Riau yang hancur lebur. Waktu itu Riau dianggap potensial sebagai daerah yang kaya minyak dan tengah menikmati era otonomi daerah. Akibat lonjakan harga, asumsi dan harapan itu meleset.
Celakanya, bukan hanya di Riau malapetaka itu terjadi. Penurunan animo membeli emas membuat banyak gerai Goldmart di banyak daerah lesu. Penjualan pun minus. Jelas ini situasi yang tidak menguntungkan lantaran ekspansi yang digelar menguras modal kerja. Kas pun tergerogoti.
Malangnya, derita itu tidak sampai di sini. Cobaan makin bertubi-tubi manakala kompetitor kian agresif menyerbu pasar. Madu bisnis perhiasan emas ritel modern yang selama ini dilahap sendiri harus dibagi dengan sejumlah pemain lain. Saat itu Frank & Co Jewellery, Felice Jewellery, dan perusahaan lain ikut meramaikan bisnis sejenis.
Keterpurukan tersebut menyalakan alarm bahaya bagi manajemen Goldmart. “Kami panik,†kata Melyana Tjahyadikarta Taslim, pemegang saham sekaligus Direktur PT Goldmartindo yang bergabung dengan perusahaan sejak 2005.
Menurut catatan Melyana, ada sejumlah masalah yang ditemukan saat itu. Pertama, citra yang tertanam di benak konsumen tentang Goldmart selama 19 tahun adalah toko penjual cincin kawin. Kedua, gaya manajemen kekeluargaan membuat pengelolaan keuangan tidak efektif. Ini terlihat dari kebijakan menggunakan keuntungan dari beberapa gerai untuk menutup kerugian di gerai lain. Ketiga, manajemen banyak mengambil keputusan yang kurang mendalam. Contohnya, soal pemilihan lokasi gerai untuk ekspansi kurang diperhitungkan dengan masak sehingga sepi pengunjung.
Melyana segera bertindak. Dia tidak ingin kondisi perusahaan yang dirintis kedua kakaknya, Hadi Tjahyadikarta dan Melsiana Tjahyadikarta, itu makin parah. Maka, dia pun meminta tolong suaminya, Marcus Taslim. Pertimbangannya, sang suami tercinta sukses mengelola bisnis laundry Jeeves, lisensi dari London.
Sekadar kilas balik, Goldmart dirintis konsorsium Hadi dan empat kawannya tahun 1991. Mula-mula perusahaan ini menjual emas secara partai sampai akhirnya Hadi pergi ke Singapura dan ingin adik-adiknya meneruskan usaha itu dengan membangun konsep ritel yang berbeda dari pasaran. Lalu, tahun 1995 perusahaan keluarga Tjahyadikarta ini membeli lisensi Primagold dari Thailand. Dengan demikian, di bawah payung PT Goldmartindo ada dua jenis toko emas: Goldmart dan Primagold. Goldmart menjual perhiasan emas 18 karat, sedangkan Primagold untuk perhiasan emas murni 24 karat.
Permintaan tolong Melyana ditanggapi secara positif oleh suaminya. Marcus setuju dengan analisis Melyana. “Untuk apa toko banyak jika cashflow tidak baik? Harus diambil tindakan-tindakan drastis!†ujar lelaki yang kemudian didapuk menjadi Presiden Direktur PT Goldmartindo itu.
Tak cukup dengan analisis yang ada, Marcus juga menelaah permasalahan. Dia menemukan dua masalah utama Goldmart. Pertama, struktur perusahaan terlalu lebar, sehingga harus diubah menjadi lebih ramping dan kuat. Kedua, kualitas divisi penjualan — unjuk tombak perusahaan — kurang bagus.
Tak berpanjang waktu, Marcus segera merestrukturisasi bisnis Goldmart secara bertahap. Ada empat langkah yang digelarnya. Pertama, membenahi organisasi: merampingkan jumlah gerai dari 77 menjadi 37 (terdiri dari 36 gerai Goldmart dan 1 gerai Primagold) di 18 kota di Indonesia. Kemudian, jika sebelumnya satu gerai dijaga empat karyawan, sekarang cukup dua. Ini adalah langkah efisiensi.
Kedua, membenahi SDM. Jumlah karyawan dipangkas dari 300 lebih menjadi 160 orang. Lalu, bagi karyawan berprestasi, jika sebelumnya hanya memberi bonus komisi, kini ditambah jalan-jalan ke luar negeri. Tak lupa, meningkatkan kemahiran karyawan, misalnya dengan memberi pelatihan metode teater/seni peran di Gathaya Performing Art Center untuk meningkatkan pelayanan pelanggan.
“Zaman sekarang sebuah organisasi bisnis harus dikerjakan secara profesional tetapi adil. Kalau memang tidak perform, ya tidak bisa terus. Kami bukan perusahaan sosial. Business is business. Zaman sekarang persaingan tambah ketat, kami juga harus mencari orang yang betul-betul berprestasi, itulah yang dipakai,†kata Marcus yang menyebut dirinya trouble shooter tentang langkah menutup gerai dan memangkas SDM.
Untuk karyawan yang baru direkrut, manajemen juga menerapkan aturan baru. Dulu Goldmart banyak mempekerjakan lulusan SMA, kini bergeser ke lulusan D-3 atau S-1. Bahkan, penampilan karyawati yang menjadi frontliner ditingkatkan. Dulu yang penting jujur, kini juga ditambah syarat good looking. Untuk itu, kandidat mesti memiliki postur proporsional dengan tinggi minimal 160 cm dan berat badan seimbang. “Kami sampai mendatangkan Bu Wawa Sugimurt dari Sugi Salon untuk menata rambut karyawan frontliner,†ungkap Agnes Hadiwono, Manajer Toko PT Goldmartindo.
Ketiga, membenahi strategi pemasaran agar lebih tajam. Menurut Marcus, strategi promosi above the line kurang efektif diterapkan di produk emas. Untuk itu, pihaknya lebih melirik below the line yang lebih kreatif. Sebelumnya, cara promosi Goldmart terbilang kuno dan pasaran: diskon, atau buy 2 get 1 free. Nah, Marcus ingin jurus pemasaran yang beda. “Lebih mengarah ke service oriented. Kalau mau beli perhiasan, di mana saja bisa, harga dan desain bisa seragam. Namun, untuk service, pelanggan yang akan merasakan perbedaannya,†ujarnya menegaskan.
Keempat, mempersempit target pasar. Sebelumnya, segmen yang dituju terlalu lebar mengikuti target pasar Matahari Dept. Store yang menyasar kelas C dan D, kini diciutkan untuk level menengah saja. Setelah itu, variasi produk juga dibenahi. “Varian produknya dengan desain yang menyasar anak muda, fashionable dan harga terjangkau di kisaran Rp 2-5 juta per piece,†tambah Emilia J. Widjaya, Pengembangan Produk PT Goldmartindo.
Positioning juga dipertegas. Goldmart dipertajam sebagai toko perhiasan yang menjual ragam perhiasan emas 18 karat. Sementara Primagold diposisikan toko perhiasan yang menjual perhiasan emas 24 karat. Positioning ini didukung perubahan konsep penampilan toko. Gerai Goldmart, umpamanya, diubah menjadi lebih cozy dengan pencahayaan lebih terang dan didominasi cat warna krem, keemasan plus hijau.
Berapa biaya yang dikeluarkan Goldmartindo untuk re-engineering ini?
Marcus mengaku tidak banyak yang dikucurkannya, karena yang dilakukan justru perampingan jumlah karyawan dan gerai. Semuanya dilakukan bertahap sejak 2008. Setidaknya biaya pengadaan barang per show case tiap bulan Rp 75-100 juta. Di satu gerai terdapat 8 show case, sehingga investasinya maksimal Rp 800 juta. Sementara itu, biaya renovasi toko tidak sampai Rp 150 juta/gerai.
Di lapangan, pembenahan telah menunjukkan hasil menggembirakan. Pelatihan metode teater, misalnya. “Kami menjadi lebih percaya diri saat kontak mata dan menghadapi lawan bicara. Cara ini berguna untuk transaksi dengan pelanggan,†ucap Nunung, Supervisor Goldmart Cabang Plaza Indonesia, Jakarta.
Yang lebih menyenangkan, empat langkah yang digelar Marcus mendongkrak kinerja gerai. Pembenahan target pasar, positioning dan renovasi gerai mendorong pembeli kembali berdatangan. “Penjualan setengah dari total gerai Goldmart mengalami kenaikan cukup signifikan. Setidaknya satu tahun terakhir tumbuh 10%-15%,†kata Marcus menegaskan.
Sempat meredup, Goldmart kini berkilau lagi. Dibandingkan tahun 2005-06 yang kondisinya sempat merosot, kini kinerjanya meningkat 35%-40%. “Yang jelas, penjualan tiap sales promotion girl bisa mencapai Rp 1,5-2 juta per hari,†ujar Sjarkowi dengan bangga.
Kondisi gerai-gerai Goldmart diakui Marcus juga lebih sehat. Perampingan karyawan memberi energi positif. “Sekarang seorang supervisor rata-rata membawahkan 5-6 toko,†ucapnya.
Pulihnya kondisi Goldmart memang menggembirakan manajemen Goldmartindo. Namun, Himawan Wijarnako segera mengingatkan bahwa ke depan Goldmart tidak bisa lepas dari ketatnya persaingan. Dengan peta persaingan yang sengit, positioning merek yang tajam, yang menggambarkan diferensiasi dibandingkan kompetitor, sangat dibutuhkan. Karena itu, GM Management Strategic The Jakarta Consulting ini menegaskan perlunya Goldmart membangun identitas brand yang kuat. Dalam konteks ini, perombakan penampilan gerai bisa dikatakan sudah pada jalurnya. Namun, yang terpenting adalah layanan yang tercermin dari perilaku karyawannya.
Pandangan ini tentunya patut didengar. Sebab, sejumlah pemain seperti Frank & Co Jewellery dan Felice Jewellery tak kalah serius menangkap pasar. Bila salah langkah, Goldmart akan kembali menuai badai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar